Oleh Alfian Al-Ayubby Pelu
Aktif di Koalisi Buruh Migran Berdaulat
Migrasi
“Kamu bikin apa di sini?”
“Tidak bikin apa-apa. Kamu ada lowongan pekerjaan untuk saya?”
“Datang ke Sabah dengan saya. Ada banyak pekerjaan di sana.”
“Boleh, saya mau ke sana!”
Begitulah Omes mengingat penggalan percakapan beberapa dekade lalu dengan Johan, salah satu kerabatnya yang bekerja di Sabah, yang sedang pulang kampung.
Pertemuan itu mendorongnya merantau. Dengan bantuan si kerabat, dia naik kapal dari kampungnya di pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, menuju Nunukan, sebuah pulau di Provinsi Kalimantan Utara (Kaltara). Nunukan berbatasan dengan negara bagian Sabah, Malaysia.
Tanpa paspor, visa kerja, dan belum genap 20 tahun, Omes menyeberang perbatasan. Waktu itu malam hari. Speedboat yang dia tumpangi menyusuri laut dengan tenang dan berhasil mengelabui patroli reguler tentara Malaysia.
Kurang lebih 2 jam di atas laut, speedboat itu tiba di sebuah lokasi yang tak jauh dari kota pelabuhan Tawau. Penumpang kemudian naik minibus yang parkir dekat tambatan. Minibus membawa mereka ke tujuan masing-masing. Omes mengakhiri perjalanannya di sebuah perkebunan sawit.
Omes adalah satu dari jutaan orang yang bermigrasi untuk bekerja di Sabah. Arus migrasi ke sana sebetulnya sudah terbentuk sejak lama. Perantau asal Sulawesi dan Nusa Tenggara Timur, juga dari Filipina Selatan, bermigrasi ketika negara bagian ini masih menjadi koloni Inggris. Mayoritas bekerja di industri perkayuan, kemudian menetap dan beranak pinak. Keturunan mereka kini menjadi warga negara Malaysia.
Meskipun ramai, sayangnya arus migrasi tenaga kerja ke Sabah belum banyak dikenal ketimbang arus migrasi tenaga kerja ke Malaysia Semenanjung, Hong Kong, Taiwan, atau ke negara-negara Arab.
Koridor Kaltara Sabah sedikit banyak mencerminkan perbatasan Amerika Serikat (AS) dan Meksiko, yang secara signifikan menampung migrasi ireguler: migrasi yang berlangsung di luar norma hukum yang dibuat oleh rezim imigrasi negara bangsa. Di koridor ini setiap hari para migran melintas batas dan mayoritasnya tidak memiliki dokumen (paspor dan visa kerja). Mereka datang untuk cari kerja di sektor perkebunan, konstruksi, dan pekerjaan rumah tangga.
Mustahil mencegah para migran melintasi perbatasan yang berpori (porous border). Di sepanjang 330 kilometer perbatasan Kaltara dan Sabah, hanya ada sepasang pintu penyebrangan resmi: Pelabuhan Tunon Taka di Nunukan dan pelabuhan di Tawau. Di luar itu, bertebaran puluhan titik penyebrangan “tidak resmi” baik laut maupun darat.
Lebih lanjut, dalam bayangan geografis perantau asal Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Timur, Sabah hanyalah satu dari 38 provinsi di Indonesia. Jaringan keluarga (kinship) memainkan peran penting dalam proses migrasi ini. Kerabat dan keluarga saling mengajak satu sama lain merantau. Calo dan pengurus (mereka yang menyediakan jasa menyebrangkan migran dengan menghindari otoritas keamanan) juga punya andil besar dalam proses ini.
Razia, penjara, rumah tahanan imigrasi, dan deportasi adalah “perkakas” yang sering digunakan rezim imigrasi Sabah untuk menakuti migran supaya tidak merantau ke sana. Tapi bukannya menciut, migran tetap melintasi perbatasan melalui “jalur samping atau “jalur tikus”.
Bekerja
Omes yang saat ini sudah 40-an tahun, bekerja di perkebunan Cendawan. Dia sudah tinggal dua puluh tahun lebih di Sabah dan telah beberapa kali menjadi pemanen di lain perkebunan.
Cendawan memiliki luas lahan sekitar 1600 lebih hektare (ha). Perkebunan ini terletak di sisi jalan utama Tawau-Keningau, berjarak sekitar 70 kilometer dari Tawau.
Di sisi kanan dan kiri jalan ini menghampar ribuan hektare lahan dan jutaan pohon-pohon sawit milik korporasi besar macam Felda Global Venture (FGV) [1], Sabah Softwood, Sime Darby[2], Usahawan Borneo, juga puluhan perusahaan kecil dan perkebunan pribadi. Di perkebunan-perkebunan inilah buruh migran dalam jumlah besar dipekerjakan.
Sekitar jam 10 pagi di Juni 2022, saya menyusul Omes ke satu blok[3] dimana dia memanen buah sawit. Ketika saya sampai, Omes dan kawan sekerjanya, Usman, sedang mengambil jeda.
“Sudah berapa tandan yang dikumpul dari pagi, bang?”, saya bertanya kepada Omes dan Usman.
“Kami sudah kumpul sekitar 30 tandan. Itu baru sekitar setengah ton. Kami rencana dapat sekitar 1,5 ton hari ini”, balas Omes.
“Pokok-pokok (pohon) di sini sudah tua dan tinggi. Tidak banyak berbuah”, Omes menambahkan.
Cendawan memiliki satu estate yang terdiri lebih dari empat divisi. Di divisi Omes bekerja, umur pohon-pohon sawit sudah melebihi 18 tahun dan melebihi 10 meter.[4]
Menurut buruh, pohon sawit tua cenderung tidak menghasilkan banyak buah tapi bobot tandannya lebih berat dari yang diproduksi pohon muda. Pada musim panen tinggi, Omes dan Usman bisa memanen 2 ton sampai 2,5 ton tandan sawit per hari. Pada musim panen rendah, mereka hanya bisa mengumpulkan 1 ton sampai 1,5 ton.
Masa puncak panen sawit di Malaysia biasanya antara September dan Oktober, masa panen tengah (moderat) antara Maret dan Agustus, dan masa panen rendah berlangsung dari November ke Februari.
Setelah jeda, Omes dan Usman bergerak ke pohon-pohon lain melanjutkan pekerjaan. Sebelum buah sawit digasak Omes akan membersihkan pelepah-pelepah lebih dulu karena tandan sawit bersembunyi di situ. Setiap kali menggerakan alat panen yang adalah sebuah pipa panjang dengan arit yang menancap di ujungnya, Omes menarik nafas dan memegang pinggang.
Usman mengangkut tandan-tandan yang sudah digasak ke pundaknya, membawanya ke tepi jalan antara blok. Dari sini, loader (pengangkut buah ke truck) akan memasukannya ke dalam truk. Tandan-tandan lalu dipindahkan ke gudang. Setiap hari, Omes dan Usman berjalan mencakup beberapa hektar untuk panen.
Pagi hari berikutnya saya ke divisi lain. Di sana buruh-buruh migran perempuan sedang menabur pupuk. Kebanyakan buruh migran perempuan bekerja sebagai penabur pupuk (pembaja), penyemprot hama, perawat bibit sawit, pemungut buah.
Menurut Yuli, buruh perempuan biasanya menghadiri apel pada jam 5 pagi. Buruh menyebutnya sebagai polling atau berhitung orang. Buruh perempuan akan menghitung berapa dari mereka yang hadir, lalu mendengar ceramah produktivitas dari atasan. Setelahnya, mereka diangkut mobil truk ke blok-blok yang telah ditentukan untuk beri pupuk.
Di atas kertas, jam kerja perhari di perkebunan sawit mengikuti peraturan Malaysia: 45 jam per minggu. Total jam kerja Malaysia ini lebih 5 jam dari maksimal waktu kerja di Indonesia dalam satu minggu! Buruh sawit, terutama pemanen, paling tinggi kerja selama 26 hari dalam satu bulan. Pada kenyataannya jam kerja bisa panjang karena buruh dibebani target kerja, dan mereka dapat upah dari capain target itu.
Target dan ketentuan kerja setiap buruh sawit berbeda tergantung pada jenis pekerjaan. Buruh perempuan yang menyemprot hama biasanya bekerja dalam kelompok. Meski berkelompok, bukan berarti beban kerja individu jadi ringan.
Target yang diberikan kepada mereka begini: menyemprot diameter lingkaran pohon mencapai 1 ekar dibayar Rm 6 (kurs saat itu adalah Rm 1 setara Rp 3,400). Menyemprot rumput di luar diameter pohon mencapai 1 ekar dihargai Rm 5. Hasil dari target kelompok akan dibagi rata per orang.
“Ketika bekerja menyemprot saya menggendong tabung yang berat cairannya 15 liter. Setiap hari saya bisa isi ulang 10 – 12 kali gendongan cairan. Paling banyak saya menggendong 180 liter setiap hari. Kami bekerja dalam grup yang ada kurang lebih 5 orang. Kami menyemprot 1 blok (50 – 60 ekar = 20 – 24 hektare) per dua hari. Antara menyemprot dan memupuk juga berbeda hitungan harga dan targetnya”, kata Hasna menjelaskan bagaimana dia bekerja sebagai penyemprot dan memupuk.
“Tiap bulan kami bisa ganti-ganti job pekerjaan. Minggu tertentu menyemprot, minggu lain menabur baja (memupuk). Tergantung jadwal yang dikasih pegawai (atasan). Kalau musim hujan, kami tidak menyemprot. Semua orang tidak bekerja kalau hujan besar, duduk di rumah saja, tak dapat gaji”, Hasna menambahkan.
Target pemanen lain lagi. 1 ton tandan sawit yang mereka panen dihargai Rm 30 hingga Rm 33. Setiap divisi, karena umur pohonnya berbeda dan menghasilkan bobot buah yang berbeda, upah tiap pemanen bisa berbeda. Target dan hasil per hari, ditambah bayaran atas hasil kerja dua kali lipat jika bekerja di hari libur, menjadi upah per bulan.
Sistem kerja di perkebunan sawit dibuat “rumit” supaya buruh terdorong bersaing satu sama lain mengumpulkan hasil kerja yang lebih banyak. Dan karena pekerja dibayar berdasarkan target dan hasil kerja, jika mereka tidak masuk kerja karena alasan apapun, mereka tidak dibayar. No work, no pay! Pada hari saya bertemu Omes dan Usman mereka mulai bekerja jam 6 pagi dan selesai jam 3 sore. Mereka mengaku bekerja juga di hari Sabtu dan Minggu: keluar pagi pulang sore.
Kelapa sawit merupakan tanaman komersial dengan tingkat rekayasa cukup tinggi. Pola tanam dan sistem produksinya diatur sedemikian rupa supaya bisa dipasok ke pasar tepat waktu. Setiap hari tandan sawit dipanen. Namun setiap bulan buruh sawit menerima upah yang kecil.
Mayoritas buruh migran di perkebunan Cendawan terima upah jauh dibawah Rm 1,500 (angka upah minimum Malaysia). Rata-rata Omes dapat upah Rm 900 (Rp 3,060,000) per bulan. Dia menikah dan memiliki dua anak. Istrinya tidak bekerja karena merawat bayi mereka yang baru lahir. Buruh-buruh pemanen lain ada yang diupah antara Rm 1,000 – Rm 1,200 per bulan. Buruh perempuan diupah lebih rendah, antara Rm 400 – Rm 500 per bulan.
Karena upah yang rendah, anak-anak buruh migran bekerja membantu orang tua. Ini yang menjadi ciri utama tenaga kerja di perkebunan sawit: satu anggota keluarga adalah pekerja. Ibu bekerja menyemprot dan menabur pupuk, ayah memanen tandan sawit, anak-anak bekerja sebagai pemungut buah.
Kehidupan di perkebunan sawit
Meski perusahaan menyediakan perumahan buruh, pada dasarnya perkebunan sawit terpencil dan terisolasi. Letaknya jauh perkampungan warga maupun kota. Hampir tidak ada transportasi umum yang menghubungkan perkebunan sawit dengan dunia luar.
Sebagian besar buruh migran tidak memiliki dokumen. Sebagian lagi dokumennya ditahan oleh manajemen perusahaan. Tanpa dokumen di tangan, buruh takut dirazia polisi dan imigrasi jika saat keluar perkebunan.
Keterpencilan membuat mobilitas keluarga buruh migran jadi terbatas. Fasilitas dan kebijakan publik jauh dari jangkauan mereka. Meski bekerja dan sama-sama membayar pajak, hanya warga negara Malaysia yang jadi penerima manfaat dari kebijakan ekonomi, kesehatan, dan pendidikan.
Dari aspek ekonomi, pemerintah Malaysia tidak melindungi buruh migran. Upah buruh migran rendah sedangkan kebutuhan hidup tinggi. Tidak ada kepastian kerja layak.
Pada bulan Juni 2022 inflasi membuat harga barang di Malaysia melonjak 6 hingga 10 persen. Di beberapa negara bagian stok sembako langka. Kenaikan ini memperbesar pengeluaran makanan satu keluarga buruh. Menurut seorang ekonom yang membuat estimasi kebutuhan pangan dengan menyesuaikan inflasi, satu rumah tangga di Malaysia (dengan jumlah anggota keluarga empat orang) membutuhkan rata-rata Rm 1,415 untuk konsumsi makanan sehat.
Rata-rata keluarga buruh migran menghabiskan sekitar Rm 800 – Rm 1,000 (Rp 2,6 juta – Rp 3,3 juta) untuk makanan. Ini diluar kebutuhan bensin, pulsa internet, sekolah anak, dst.
Sulit bagi buruh migran bisa menjangkau (membeli) makanan sehat, apalagi di tengah situasi upah rendah, inflasi, dan keterbatasan mobilitas. Mereka menyiasati kebutuhan konsumsi dengan makan banyak mie instan dan telur: memperbanyak karbohidrat dan mengurangi protein, serat, dll.
Segera setelah inflasi melanda, ditambah dengan kesulitan akibat pandemi sejak 2020, pemerintah Malaysia memberi subsidi dan bantuan ekonomi kepada warga negara, tapi tidak untuk buruh migran. Yang menolong keluarga buruh migran di segala situasi adalah hutang. Buruh berhutang ke teman sekerja atau ke toko-toko di perkebunan yang menjual sembako. Tidak berlebihan mengatakan bahwa jaring pengaman sosial di perkebunan sawit adalah hutang.
Dari sisi kesehatan, akses atas pelayanan kesehatan dibuat tidak mudah dan mahal. Malahan yang gratis susah diakses populasi migran. Anak-anak buruh migran dihambat untuk mendapatkan imunisasi gratis. Salah satu dampak kurangnya imunasi ini adalah menyebarnya wabah polio di Sabah pada 2019. Free Malaysia Today menulis, “wabah polio ini bisa dikaitkan dengan kurangnya akses atas fasilitas kesehatan yang dialami oleh anak-anak migran, pengungsi, dan populasi yang tidak memiliki kewarganegaraan (stateless).”
Pemerintah Malaysia pada April 2017 menaikan biaya kesehatan untuk warga negara asing sebesar 200 persen. Pejabat Kementerian Kesehatan Malaysia saat itu, Shafiq Abdullah, berucap jika tujuan kebijakan ini untuk memotong subsidi bagi warga negara asing.
Bahkan sebelum kebijakan ini, riset-riset lain telah menunjukan buruh migran membayar biaya kesehatan dua kali lipat dari warga negara Malaysia. Jika sakit dan perlu rawat inap mereka harus membayar deposit paling kurang Rm 1,400 (Rp 4,5 juta – Rp 4,6 juta).
Banyak perusahaan memberikan tunjangan kesehatan namun jumlahnya kecil, antara Rm 200 – Rm 300 (Rp 600 – Rp 800 ribu) per tahun. Tunjangan kesehatan hanya untuk satu orang pekerja dan hanya cukup untuk satu kali berobat ke klinik (setara puskesmas). Jika buruh migran punya keluhan sakit dan tunjangan klinik sudah habis, atau jika anggota keluarga ada yang sakit, mereka harus membayar sendiri.
Biaya kesehatan yang mahal membuat buruh migran lebih memilih “pengobatan alternatif”. Baru-baru ini seorang buruh migran perempuan mengidap penyakit pencernaan kronis. Dia memilih ke dukun yang memberikannya air yang ditiup jampi-jampi.
Buruh migran yang hamil memilih melahirkan di bawah kendali biang kampung. Biaya melahirkan di rumah sakit di Tawau paling kurang adalah Rm 2,593 (Rp 8,5 juta). Jumlah ini belum termasuk deposit yang harus dibayar di muka. Persalinan di luar rumah sakit dan tanpa fasilitas kesehatan yang memadai hanya akan memperbesar resiko angka kematian ibu dan anak.
Terkait masalah pendidikan, anak-anak buruh migran sulit mendapatkan pendidikan formal. Sekolah-sekolah di Sabah memiliki kebijakan yang ketat dalam menerima anak-anak Indonesia. Jika salah satu dari orang tua tidak memiliki dokumen, maka sang anak diragukan kewarganegaraannya dan akan ditolak masuk sekolah.
Pemerintah Indonesia dan Malaysia, serta perusahaan-perusahaan sawit, dengan alasan yang cenderung etis (seorang kawan membandingkannya dengan politik etis di era kolonial Hindia Belanda) bekerjasama mendirikan sekolah alternatif bagi anak-anak migran Indonesia. Sekolah-sekolah ini disebut Community Learning Center (CLC) yang umumnya berlokasi di kantong-kantong populasi migran, seperti di perkebunan sawit.
Semua CLC di Sabah cukup punya tingkatan SD dan SMP. Bagi yang ingin melanjutkan pendidikan ke SMA, orang tuanya akan mengirim mereka ke Indonesia. Banyak anak-anak migran berhenti melanjutkan sekolah dan memilih bekerja di perkebunan untuk membantu orang. Khususnya anak-anak migran perempuan, mereka cenderung menikah di usia sangat muda.
Kontribusi ekonomi dan eksploitasi
Ada perbedaan data jumlah populasi migran di Sabah. Dalam Irregular Migrants and the Sea at the Borders of Sabah, Malaysia (2021), Vilashini Somiah mencatat perbedaan data populasi non warga negara di Sabah (migran dan anak-anak yang lahir dari orang tua migran) antara 886 ribu jiwa, 1,1 juta jiwa, dan 1,9 juta jiwa. Sementara populasi Sabah secara keseluruhan mencapai 3,9 juta jiwa.
Sebagian besar populasi migran di Sabah bekerja di perkebunan sawit. Mereka lah yang membuat Sabah menjadi daerah produsen sawit terbesar di Malaysia. Dan Malaysia sendiri adalah produsen sawit terbesar kedua di dunia, satu peringkat di bawah Indonesia. Menurut Dewan Minyak Sawit Malaysia (MPOB), sekitar 78 persen buruh di perkebunan sawit adalah buruh migran dan mayoritas asal Indonesia.
Nasib sektor kelapa sawit di negara itu bergantung pada buruh migran. Warga negara Malaysia memang bekerja di perkebunan sawit, tapi mayoritas adalah staf atau yang menduduki posisi manajerial. Mereka enggan bekerja di lapangan, yang dianggap sebagai pekerjaan ‘3D’ (dirty, difficult, and demeaning). Pekerjaan 3D ini termasuk pemanen, loader, penabur pupuk dan penyemprot hama, pemungut buah, dll. Jenis-jenis pekerjaan ini yang dilakukan oleh buruh migran asal Indonesia dan Filipina.
Sumbangan buruh migran bagi sektor sawit, dan secara umum bagi ekonomi Malaysia, terbilang besar. Pada Oktober 2022, koran The New Straits Times melaporkan bahwa sektor kelapa sawit di Malaysia menderita kekurangan tenaga kerja yang akut selama 3 tahun berturut-turut. Dampaknya: jutaan ton tandan sawit, termasuk di Sabah, membusuk karena tidak ada cukup buruh yang memanen. Nilai dan volume ekspor sawit Malaysia anjlok.
Beberapa alasan disebut sebagai penyebab kekurangan buruh migran. Pertama karena pandemi dan kontrol ketat atas arus migrasi internasional. Di luar itu, negara seperti Bangladesh sempat menyetop pengiriman buruh migran berdokumen ke Malaysia sebagai reaksi karena negara tersebut gagal melindungi buruh migran Bangladesh.
Korporasi sawit telah memohon kepada pemerintah mereka untuk melobi negara-negara seperti Indonesia, Sri Lanka, India, Bangladesh supaya mengirimkan buruhnya ke Malaysia. Hanya saja korporasi sawit dan pemerintah Malaysia hipokrit (munafik).
Mereka membutuhkan buruh migran namun menolak menyederhanakan persyaratan imigrasi dan ketenagakerjaan. Dari sisi ketenagakerjaan, ada aturan tidak masuk akal yaitu rasio 8:1, yang hanya membolehkan satu orang buruh migran berdokumen bekerja menangani 8 hektare lahan sawit.
Aturan itu sudah dikritik karena tidak sesuai dengan kemampuan tenaga manusia. Perusahan sawit seperti Sime Darby, yang setiap tahun lulus penilaian lembaga semacam Meja Bundar untuk Minyak Sawit Berkelanjutan (RSPO), merekrut banyak buruh tidak berdokumen (undocumented) untuk menyesuaikan kebutuhan real atas tenaga kerja. Lahan mereka luas dan merekrut buruh migran hanya berbasis rasio tersebut adalah tidak masuk akal.
Dari aspek dokumentasi keimigrasian, buruh migran baik di sektor sawit, konstruksi, manufaktur, dan jasa (pekerjaan domestik) hanya diberi visa dengan durasi satu tahun. Visa bisa diperpanjang hingga batas 10 tahun.
Pada lima tahun pertama, buruh migran harus keluar Malaysia dan jika ingin masuk kembali mereka harus mengawali proses perekrutan dari awal. Setelah lima tahun kedua buruh migran tidak diperbolehkan lagi masuk ke Malaysia. Pepatah lama berlaku: habis madu sepah dibuang.
Di samping itu, visa kerja hanya berlaku untuk satu orang, tidak bisa menjamin keluarga. Bagi buruh migran yang bekerja di perkotaan, mereka mungkin bisa hidup tanpa anak dan istri/suami. Ambil contoh buruh-buruh migran dari Asia Selatan yang bekerja sebagai pelayan di restoran di Kuala Lumpur, Kota Kinabalu, Penang, dsb. Di sana mereka hidup berkelompok dengan teman sekerja.
Sementara kondisi di perkebunan sawit sangat terisolasi dan sulit bagi pekerja hidup tanpa keluarga. Buruh migran yang merantau lebih dulu, akan mengajak keluarganya setelah dia menetap dan bekerja. Selain itu, populasi buruh yang terus berkembang di dalam perkebunan sawit memungkinkan buruh migran menikah.
Seperti yang sudah disinggung, karakter tenaga kerja di perkebunan sawit adalah pekerja keluarga. Ibu, ayah, dan anak bekerja. Dengan hanya memberikan visa untuk satu orang buruh, otoritas di Malaysia membiarkan anggota keluarga buruh yang lain menjadi undocumented.
Menurut buruh-buruh Cendawan, hanya 20 persen dari sekitar 300-an buruh di perkebunan itu yang memiliki dokumen. Omes awalnya kerja di perkebunan ini tanpa dokumen. Beberapa tahun kemudian perusahaan membantunya memiliki dokumen. Pada masa pandemi dokumen Omes habis masa berlakunya, belum sempat diperbarui.
Situasi buruh migran undocumented yang besar di Sabah sebetulnya diciptakan sendiri oleh pemerintah Malaysia (Sabah) dan korporasi sawit. Mereka menjinakan buruh migran dengan membuat mereka tidak berdokumen, tersingkir sebagai subyek hukum, dan tidak bisa mengakses pelayanan dasar yang sama seperti warga negara. Dengan cara ini, mereka bisa memeras tenaga buruh untuk kepentingan industri sawit tanpa khawatir protes dan perlawanan.
Perkebunan sawit, meminjam istilah Aihwa Ong, adalah “enklave ekonomi” atau “zona pengecualian (zones of exception)” yang dibuat untuk mendorong kegiatan ekspor. Di “zona pengecualian” pengusaha diberi diskon pajak, jaminan upah murah, terhubung dengan rantai pasok dunia sementara pada saat yang sama buruh migran dikorbankan. Sebagaimana ditulis Arnold dan Campbell (2017), “lewat berbagai kebijakan, buruh dikecualikan dari bermacam hak yang diberikan kepada warga negara yang tinggal di luar situs kegiatan produksi (zona) ini.
Deportasi dan kembali lagi
Dimar (seorang buruh di Cendawan) menceritakan hari buruk itu.
Pukul 6 sore di pertengahan Agustus 2018. Hari belum gelap. Dia sedang nongkrong dengan teman-teman sekerjanya di depan gerbang utama perkebunan Cendawan. Mereka minum kopi, memainkan handphone, dan membahas soal togel.
Dari arah barat jalan Keningau-Tawau, beberapa mobil razia melaju dan berhenti di depan gerbang. Polisi, petugas imigrasi, dan beberapa yang berpakaian preman meloncat keluar.
“Jangan lari! Jangan lari! Kamu semua tidak punya dokumen ditangkap”, teriak petugas yang berlari ke arah mereka.
Terlambat waspada, Dimar dan dua orang temannya diciduk. Beberapa pekerja yang awas lari ke area perumahan buruh dan memberitahu semua penghuni. Perempuan, laki-laki, anak-anak, lari masuk ke dalam blok-blok pohon sawit. Tak lama perumahan buruh senyap.
Kohar, buruh Cendawan yang waktu itu masih memiliki dokumen namun kini sudah habis masa berlaku (expired), cerita bahwa dia sedang di kamar mandi ketika mendengar teriakan. Dia tidak lari dan berhadapan dengan petugas.
Setelah memeriksa dokumennya, gerombolan petugas berjalan melihat seisi perumahan. Kohar mengikuti mereka masuk rumah-rumah tetangga. Dia mematikan kompor yang masih menyala, menutup makanan yang berserakan di meja, mematikan televisi yang tidak ditonton.
“Semua lari dengan pakaian dibadan. Beberapa anak bayi digendong orang tua tanpa pakai selimut. Semua lari karena panik”, ucap Kohar.
Dimar dan dua temannya dibawa ke kantor polisi beberapa minggu, disidang, dimasukan ke penjara, lalu dipindahkan ke Depo Tahanan Imigrasi (DTI) di Tawau. Dia bilang, rentang waktu sejak dia ditangkap hingga diusir (deportasi) ke Indonesia adalah 6 bulan. Kurang lebih 4 bulan dia mendekam di DTI Tawau.
“Harusnya buruh Cendawan tidak ditangkap kalau di area perkebunan. Biasanya kalau mau ada razia imigresen kita dikasih tahu dulu manajemen buat bertapo (sembunyi). Ini tidak, tiba-tiba mereka datang. Tapi mungkin waktu itu setoran manajemen ke imigresen kurang, jadi mereka main angkat (tangkap) kita saja”, ucap Dimar.
Adalah rahasia umum bahwa razia imigrasi terhadap buruh undocumented bukanlah upaya serius menegakkan hukum. Itu hanya sandiwara. Pada waktu tertentu, manajemen perkebunan akan bilang ke buruhnya untuk tidak keluar perkebunan, atau pergi kota, jika ada indikasi razia imigrasi dalam periode tertentu. Warga Malaysia, terutama yang bersimpati karena merasa memiliki “kesamaan” asal usul etnik, juga akan memberitahu buruh migran informasi razia.
Razia imigrasi biasanya dilakukan di dalam kota atau tepatnya di persilangan jalan pinggiran kota menuju perkebunan. Kegiatan ini hanya menargetkan sebagian kecil buruh migran undocumented. Razia sebetulnya adalah strategi untuk menakuti buruh migran supaya tetap tinggal di perkebunan, bekerja terus, tidak berani menuntut hak-haknya yang dilanggar. Dengan kata lain, razia adalah bagian dari kontrol atas pekerja (labour control) untuk memastikan kegiatan produksi di zona pengecualian, melipatgandakan keuntungan industri sawit, dan mengatrol pertumbuhan Malaysia.
Ketika saya menyinggung tentang kasus-kasus penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi atas migran undocumented di beberapa pusat tahanan imigrasi di Sabah, dan saya menunjukan foto-foto di mana mereka menderita penyakit kudis yang parah, lumpuh, mengidap hepatitis, dan ditahan lama, Dimar membenarkan situasi itu,
“Memang begitu. Teruk (buruk) sekali. Saya ditahan selama 6 bulan di rumah merah (pusat tahanan imigrasi) Tawau. Masuk situ, tidak lama saya kena kudis. Luka semua. Garuk-garuk saya. Di dalam tidak dikasih obat. Sampai keluar ke Indonesia, saya harus pergi ke dokter beberapa kali untuk mengobati kudis. Dokter kasih obat macam-macam, ada yang minum, gosok (usap), dan suntik.”
“Teruk di rumah merah itu. Tak pernah diubah itu dari aku masuk sampai sekarang. Sel penuh manusia, air mandi dan minum kurang. Makanan tiada rasa”, Dimar menambahkan.
Dua bulan setelah dibuang ke Indonesia, Dimar kembali menyeberang perbatasan menuju perkebunan Cendawan. Dia sudah bekerja lebih dari 10 tahun di perkebunan ini. “Ya saya balik ke sini. Waktu ditangkap anak istri saya di sini. Istri kerja juga di kebun, dan anak masih sekolah. Kalau tidak balik ke sini, bagaimana anak dan istri saya?
Banyak buruh migran undocumented punya pengalaman lebih dari Dimar. Mereka dideportasi lebih dari dua kali dan tetap kembali. Sabah bagi mereka adalah rumah. Mengutip Pereira (2011, 29), “..home is where they have been deported from, rather than where they are being sent to” (rumah adalah tempat dari mana mereka diusir, bukan ke mana mereka dibuang).
Ketimbang membuat membuat arus migrasi menjadi aman, misalnya dengan mengubah kebijakan ketenagakerjaan dan imigrasi menjadi masuk akal dan efisien, otoritas dan warga negara nasionalistik di kedua negara memilih memerangi buruh migran.
Buruh migran disebut sebagai penduduk ilegal, pendatang haram, pencuri kerja, dan masih banyak lagi sebutan merendahkan. Sebutan-sebutan ini, bersama patroli, razia, penjara, rumah tahanan, dan deportasi, tidak berhasil menundukkan keberanian mereka menyebrang perbatasan.
Catatan kaki:
[1]FGV memiliki perkebunan di Indonesia, terutama di Kalimantan Tengah dan Selatan.
[2]Sime Darby memiliki perkebunan di Kalimantan Tengah.
[3]Sebagai catatan, unit organisasi produksi terkecil di perkebunan Cendawan disebut petak. Satu petak ditanami kurang lebih 150 pohon. Jika dihitung, satu petak hampir mencapai 3 acre (1 acre setara 0,4 hektar. Biasanya 1 acre ditanami rata-rata 55 pohon). Di atas petak ada blok (1 blok rata-rata 20 petak). Di atas blok ada peringkat (rata-rata 1 peringkat ada 8 blok). Di atas peringkat adalah estate.
[4]Lihat catatan kaki sebelumnya.