Prolog
“Dua bulan aku di rumah merah, dua bulan aku nda nampak
apa-apa. Dia begini saja, pagar-pagar. Dua bulan aku nda
pegang pensil, pen. Yang kami pegang batu, gelang, itu saja
kami pegang. Batu Seremban atau Batu Sulaiman.”
(Cahaya, 10 tahun, deportan anak dari Pusat Tahanan
Imigrasi Sandakan, Sabah, Malaysia )
Pukul 2 dini hari Salwa masih tidur di dalam kamar ketika pintu ruang tamu digedor bertubi-
tubi oleh petugas imigrasi berseragam hitam. Mereka langsung merangsek masuk ke dalam rumah
tanpa melepas sepatu laras panjangnya. Ayah dan Ibu Salwa terbangun lebih dulu. Ayahnya sempat mencoba bersembunyi di bawah wastafel sebelum ditemukan oleh petugas. Dia ditendang dan dipukul di bagian mata hingga babak belur. Ibunya memohon ampun sambil berlutut dibawah kaki petugas.
Salwa baru sadar saat dipaksa bangun oleh petugas yang menyenter matanya. Salwa segera membangunkan adik perempuannya (Cahaya, 10 tahun), dua abangnya (13 dan 15 tahun) dan satu sepupunya. Masih memakai baju tidur, mereka bertujuh dikumpulkan di dapur, lalu digiring keluar dari rumah. Salwa sempat melihat tiga bus imigrasi terparkir di halaman, masing-masing khusus lelaki, perempuan, dan orang-orang dari Batu 8.
Salwa dan keluarganya diangkut naik ke atas bus. Dari rumahnya, mereka dibawa ke Lokap (Penjara Polisi) Lahad Datu untuk statement, suatu proses pencatatan nama-nama mereka yang ditangkap oleh imigrasi. Ayah dan sepupunya kemudian ditahan di penjara, sementara sisanya melanjutkan perjalanan lagi dengan bus selama 2,5 jam menuju Depot Tahanan Imigrasi Sandakan. Di sana, Salwa kembali melakukan statement, kemudian dimasukkan ke dalam Depot Tahanan Imigrasi (DTI) bersama puluhan orang lainnya yang ditangkap Sabtu malam itu, 10 Juli 2024.
***
Unduh Laporan Lengkap Salwa dan Cahaya: Kisah Anak-Anak Yang Terusir